Minggu, 09 Desember 2007

Rakyat Lelah Mengikuti Penanganan Kasus BLBI

[Konsorsium Untuk Tranparansi Informasi Publik] - Pada saat ini, Kejaksaan Agung sedang getol-getolnya memanggil konglomerat penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan juga pejabat pemerintah yang terkait dengan persoalan ini. Anthony Salim, pewaris tahta Grup Salim sudah hadir di Kejakgung, sedangkan Sjamsul Nursalim pemilik Grup Gajah Tunggal sudah disebut Direktur Jampidsus M. Salim juga akan digedungbundarkan.

Kami heran mengapa penanganan kasus BLBI ini terkatung-katung sekian lama. Akibatnya, yang jelas menjadi tidak jelas, yang tidak jelas menjadi semakin tidak jelas. Kami melihat, rakyat sangat lelah mengikuti penanganan kasus BLBI ini. Pertanyaan selanjutnya adalah, ada apa dibalik pemanggilan mantan obligor BLBI ini ? Pertanyaan ini harus digarisbawahi soalnya publik mencium aroma tebang pilih dan pilih kasih dalam menegakkan prinsip-prinsip hukum yang berkeadilan.

Misalnya, bukankah Keluarga Salim (termasuk Anthony Salim) atau Group Salim ini pernah dinyatakan sebagai obligor yang kooperatif serta sudah menerima Surat Keterangan Lunas (SKL) dari pemerintah ? Bukankah hal ini berarti bahwa obligor tersebut telah menunaikan semua kewajiban-kewajibannya sesuai dengan kesepakatan dengan pemerintah ?

Di sisi lain kami juga prihatin karena selain obligor yang kooperatif, ada juga obligor yang tidak kooperatif dan memiliki itikad buruk tapi bernasib baik. Mereka memiliki kewajiban yang menggunung, namun hingga saat ini nasib penyelesaian kewajibannya tidak diperjelas oleh pemerintah dan aparat-aparatnya. Yang kita baca di media, justeru ada yang kabur di luar negeri dan tidak jelas rimbanya. Bahkan, yang sudah jelas penampakannya pun -- karena sempat mampir ke istana negara -- dan diributkan media massa (waktu itu), juga tidak jelas juntrungan kepastian hukumnya.

Dalam pandangan kami, bukankah "permainan" hukum ini akan lebih cantik jika dalam prosesnya dilakukan secara transparan dan tidak menabrak prinsip-prinsip good governance, caranya adalah dengan menjelaskan posisi terakhir penanganan semua obligor yang tidak kooperatif. Ke depan, sepatutnya Kejakgung memprioritaskan untuk memberangus obligor-obligor yang tidak kooperatif (dengan aneka modus : mengulur-ulur waktu pembayaran, kabur keluar negeri, atau bahkan "pura-pura" meninggal dunia).

Jika ini dilakukan, pasti indeks kepercayaan publik terhadap upaya penegakkan hukum di Indonesia akan menuju titik yang lebih positif. Bukan seperti kondisi saat ini, yang justeru dituding hanya sebagai proyek kehumasan seolah-olah pemerintah peduli terhadap rasa keadilan masyarakat kecil dengan menggebuk pengusaha-pengusaha besar. Semoga tudingan itu tidak benar, rakyat tidak lelah mengikuti penanganan BLBI ini dan hukum yang berkeadilan tetap akan menjadi panglima yang sesungguhnya di republik yang memprihatinkan ini. (Hans Suta Widhya, Direktur Eksekutif)